Tentang
Proyek Seni ini mengajak anggota masyarakat yang memanfaatkan kanal di dunia maya sebagai sumber belajar secara mandiri. Proyek seni ini mencoba mengumpulkan beragam informasi di internet (berbasis tontonan) dan dirumuskan menjadi sebuah kurikulum sederhana secara personal sesuai dengan minat dan bakatnya, seperti pandangan Ki Hajar Dewantara “BELAJAR BERDASARKAN MINAT DAN KEMAUAN PESERTA DIDIK”. Bagaimana setiap manusia mampu menyusun kurikulum untuk kebutuhannya sendiri, karena hingga hari ini kita adalah pembelajar.
Kesetaraan dalam Belajar dan Distribusi Pengetahuan Masyarakat Digital dalam Sepenggal Kronik
Oleh Angga Cipta
“Tahun 2000 tahun harapan, yang penuh tantangan dan mencemaskan. Wahai pemuda dan para remaja, ayo siapkan dirimu, siap ilmu, siap iman, siap”. Itulah potongan lirik dari lagu Tahun 2000 yang dinyanyikan oleh kelompok Nasida Ria. Lagu tersebut dirilis pada tahun 1978 namun dapat meramalkan apa yang akan umat manusia hadapi 22 tahun kemudian. Lirik yang ada pada lagu Tahun 2000 bisa dilihat sebagai sebuah hipotesa ilmiah yang memberikan pencerahan sekaligus peringatan soal bagaimana pemuda harus bersiap dalam menghadapi milenium baru. Benar saja ketika baru menginjak hari pertama di tahun 2000, dunia sudah mengalami masalah dalam sistem penanggalan digital pada komputer. Millenium bug adalah sebuah peristiwa kesalahan program komputer—yang saat itu dirancang dari tahun 60-an—ketika tidak dapat mengkalkulasi kalender untuk bisa menuju ke tahun 2000 kemudian kembali ke tanggal 1 Januari 1990.
Peristiwa ini bisa dilihat sebagai sebuah ketidaksiapan manusia terhadap perubahan sistem yang niscaya harus berubah saat menginjak abad baru. Perlahan setelahnya dunia mulai bersiap apalagi setelah internet dan surel mulai merambah ke negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Warnet mulai bisa diakses hampir seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari mengakses surel, situs game, pornografi, unduh musik, dll. Hingga pada tahun 2005, Youtube hadir sebagai sebuah ruang berbagi video dan mulai marak diakses di Indonesia di akhir dekade pertama abad 21 bersama Google, Twitter, Facebook. Teknologi kamera ponsel setelahnya juga semakin memudahkan masyarakat untuk merekam dan mengunggah video di Youtube.
“Tahun dua ribu kerja serba mesin, berjalan berlari menggunakan mesin. Manusia tidur berkawan mesin, makan dan minum dilayani mesin”. Potongan lirik Tahun 2000 selanjutnya juga memberikan sebuah ramalan tentang bagaimana manusia hidup di abad 21. Namun saat ini bukanlah mesin perangkat keras yang melayani manusia melainkan mesin perangkat lunak yang akrab untuk berbagai lapisan usia penggunanya. Mesin-mesin ini sangat beragam fungsinya, mudah diunduh baik legal atau ilegal, dan dengan sangat mudah dipasang di perangkat komputer seluler. Sebut saja dari software, aplikasi, add on, plug in, media sosial, adalah mesin-mesin non fisik yang menjadi asisten manusia dalam mengembangkan peradaban. Panduan penggunanya pun lengkap tersedia dalam Youtube, baik untuk pemula, dasar, menengah, lanjutan, dan master.
Kesadaran paralel pengguna Youtube dalam berbagi ulasan, panduan, dan informasi adalah sebuah tantangan bagi dunia pendidikan. Ketika akses untuk mendapatkan informasi menjadi semakin mudah, manusia cenderung lemah dalam membedakan yang informatif dan spekulatif. Seperti yang disebutkan oleh Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise, posisi kepakaran yang dulunya ada di puncak piramida pengetahuan dewasa ini dianggap sejajar dengan orang awam. Disrupsi teknologi atau pengambilalihan peran manusia oleh robot–dalam hal ini adalah kecerdasan buatan– cukup menjadi ancaman bagi masyarakat usia produktif. Tantangan ini menuntut manusia untuk bekerja lebih cepat dan kompetitif jika mengacu pada demografi penduduk di Indonesia.
Tantangan lainnya hadir ketika pandemi memaksa manusia untuk memutus jarak fisik dan bertransformasi dalam ruang daring. Semua orang dipaksa beradaptasi untuk bekerja secara daring dan hampir tidak bertemu secara langsung. Pendidikan di Indonesia pun mengalami masa-masa tersulitnya terlebih untuk area terpencil dan masyarakat lapisan bawah yang belum bisa terjangkau jaringan internet. Namun titik cerah yang bisa dilihat adalah bergesernya peran murid dan guru ketika internet menjadi ruang utama interaksinya. Semua pengguna yang mengunggah seketika bisa menjadi guru dan semua pengguna yang sedang mengakses adalah murid. Hal ini adalah bentuk kesetaraan dalam proses edukasi dan terbebas dari batasan usia sebagai pembelajar.
Sangatlah menarik jika melihat dari sudut pandang pengakses dalam mempertanyakan bagaimana pengunggah tersebut mengkonstruksi data-data dari sebuah konten unggahan. Jika sumber-sumber informasi tersebut dirangkai menjadi sebuah utas yang kronologis, maka rangkaian tersebut sudah menjadi sebuah kompetensi dasar dalam silabus. Proyek “Kurikulum Berbasis Tontonan” ini mencoba mengajak partisipan sebanyak-banyaknya dalam mengumpulkan daftar tontonan yang dapat dirangkum menjadi sebuah silabus. Dengan membebaskan minat belajar kami mengajak siapapun untuk dapat berbagi hasil penelusuran tontonan menjadi sebuah rangkaian tahap-tahap pembelajaran bagi siapapun yang ingin belajar hal yang sama. Eksistensi manusia kini bisa dilihat dari apa yang ditontonnya karena “Aku Menonton Maka Aku Belajar” (merevisi ungkapan filsuf Descartes).
Dalam rangka memperingati 100 tahun Taman Siswa, Serrum akan menyelenggarakan pameran yang berlokasi di Museum Kebangkitan Nasional (Stovia) yang terletak di Jakarta Pusat.
Serrum ingin mengajak teman-teman untuk berpartisipasi pada proses pembuatan karya dan dapat hadir di kegiatan pameran ini pada tanggal 20 Mei sampai 20 Juni 2022.
Pada kesempatan ini, Serrum ingin mempresentasikan sebuah gagasan karya yang kami sebut dengan “Kurikulum Berbasis Tontonan”.
Melihat kondisi hari ini dan sekarang, proses belajar tidak hanya kita dapatkan lagi dari proses sekolah maupun membaca buku, saat ini publik dapat mencari dan menerima informasi serta belajar dari platform berbasis tontonan di internet, khususnya YouTube.
Pada prosesnya, kita pasti sering mencari tau informasi lewat YouTube berdasarkan kebutuhan yang ingin kita dapat. Mari kita mencoba menyusun sendiri tahapan-tahapan informasi tersebut sebagai sebuah proses pembelajaran yang akan tersusun menjadi layaknya sebuah Kurikulum.
Untuk itu, pada gagasan Kurikulum Berbasis Tontonan ini, Serrum ingin mengajak teman-teman untuk merumuskan kurikulum sendiri sesuai dengan apa yang teman-teman temukan di YouTube.